Sabtu, 12 Maret 2016

Siti Fatimah, TKI Arab Saudi 13 Tahun Tak Kembali

Tahir dan Tumirah, orang tua Siti Fatimah, tenaga kerja Indonesia yang hilang sejak 4 Oktober 2003.
Jakarta - Penantian Tahrir seakan tak pernah berakhir. Siti Fatimah, putrinya yang sejak tahun 2003 pamit bekerja ke Arab Saudi tak ketahuan kabarnya. Berbagai upaya telah dilakukan Tahrir, termasuk melakukan pengaduan kepada perusahaan pengirim, maupun kepada suku dinas sosial.

Namun usahanya tampak sia-sia. Selain klarifikasi dari pihak Kedutaaan Besar Indonesia (KBRI) Riyadh yang menyatakan telah menghubungi Siti dan menyebut dia baik-baik saja, Ada pula nota diplomatik dari Kementerian Luar Negeri Arab Saudi yang menegaskan hal itu.


Padahal menurut sang ayah, Tahrir, dalam komunikasi terakhir, Siti hanya menangis saja dan minta pulang.

“Itu pada 2 Maret 2014, dia nangis saja,” kata Ali, paman Siti kepada Tempo, 10 Maret 2016, menjelaskan percakapan Tahrir dengan Siti.

Siti Fatimah binti Tahir, warga Dusun Bendagede, Desa Sarwadadi, RT 3 RW 8 Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah berangkat ke Arab Saudi melalui PT Tenaga Kerja Putra Alwini, Jakarta pada 3 Oktober 2003. Paspor Siti bernomor AG 602 625.

Siti bekerja pada majikan bernama Najibah Al Sayid Husen Saleh Al Arodi di Kota Dammam, dengan nomor telepon 038380987 / 8826682.

PT Putra Alwini lalu mengirim surat ke KBRI Riyadh pada 16 Juli 2011 untuk memastikan keberadaan Siti. Mereka mendapat balasan pada 14 Agustus 2011, KBRI menghubungi pihak majikan Najibah Al Sayid.

Tragis nasib Siti. Sejak keberangkatan sampai sekarang Siti belum pernah menerima gaji dan tidak diizinkan pulang ke Indonesia oleh pihak majikan. Hal itu disampaikan Siti sambil menangis ke keluarganya.

KBRI Riyadh menyatakan telah menghubungi majikan TKI melalui nomor telepon +966 13 8380987. Telepon itu diterima oleh majikan perempuan dan KBRI Riyadh diberikan kesempatan untuk berbicara langsung dengan Siti.

Dalam surat itu disebutkan Siti menyatakan dirinya sehat, tidak punya masalah dengan majikan, telah menerima dan menympan gajinya selama bekerja, masih ingin bekerja di majikan dan menyampaikan bahwa dirinya tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga karena tidak ada nomor telepon keluarga yang bisa dihubungi.

Hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa ayah Siti, Tahrir, bisa dihubungi meskipun melalui telepon genggam tetangga, maupun lewat sang paman. Kondisi Tahrir, guru mengaji surau desa memang sangat memprihatinkan. “Keluarga mengharapkan agar Siti dapat kembali, kasihan orang tua dan saudara-saudaranya,” kata Ali.

sumber: TEMPO.CO

Tidak ada komentar: